Kamis, 11 Februari 2021

Esai, Zares Melia: Meningkatkan Keberhasilan Program ASI Eksklusif di Lingkungan Kerja


Perjuangan perempuan menuju kesetaraan dapat dimulai dari memberikan kesempatan mereka untuk menyuarakan isi hatinya. Salah satu suara hati perempuan yang hingga kini masih menjadi polemik adalah sulitnya melaksanakan program Air Susu Ibu (ASI) eksklusif sambil bekerja. Padahal, di zaman modern ini perempuan berhak mendapatkan kemerdekaan yang utuh. Merdeka dalam hal menentukan pilihannya untuk memberikan nutrisi terbaik melalui ASI. Bukankah seharusnya pemerintah memenuhi hak-hak karyawan perempuan terkait ASI eksklusif ini? Memang karyawan perempuan yang melahirkan sudah mendapat jaminan dari UU No.13 tahun 2013, pasal 82 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Namun, apakah itu sudah cukup?

Durasi cuti melahirkan menjadi penyebab utama kegagalan memberikan ASI eksklusif pada ibu bekerja. Seandainya cuti melahirkan adalah 6 bulan, mungkin kondisi ini bisa dihindari. Namun kenyataannya, hingga kini pemerintah belum mengabulkan permohonan cuti 6 bulan tersebut, meskipun sudah banyak kelompok-kelompok perempuan yang menyuarakan hal tersebut. Bahkan, banyak penelitian yang berkaitan dengan kegagalan ASI eksklusif. Salah satunya adalah skripsi yang berjudul “Faktor yang Mempengaruhi Kegagalan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pegandan” oleh Tsalist Kusuma Marifah. Dalam penelitian tersebut, dijelaskan bahwa kegagalan ASI eksklusif disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah karena ibu yang bekerja. Sementara negara-negara maju sudah memberikan jatah cuti yang panjang seperti Australia memberikan cuti maksimal selama 52 minggu, Swedia selama 18 bulan sedangkan di Republik Ceko selama 7 bulan. Sementara di Indonesia ibu melahirkan hanya mendapatkan cuti selama 3 bulan.

Klik download (Full text)

0 komentar:

Posting Komentar