Selasa, 01 Desember 2020

LITERASI MINIM FASILITASI

YUNIHAR HAIRUNISA, S.Pd.
SMP NEGERI 35 BANJARMASIN, KALIMANTAN SELATAN

Kemajuan zaman mendorong perkembangan pesat di segala bidang, termasuk pada bidang literasi. Akhir-akhir ini mulai sering didengungkan kegiatan literasi hingga pelosok negeri. Sebagai salah satu bentuk kemirisan hati bahwa kenyataannya anak didik kita begitu tak berminat dengan literasi. Padahal kegiatan ini begitu berpengaruh pada prestasi anak negeri. Meski minim fasilitasi mungkinkah melek literasi mampu teratasi?

Meski teknologi digital makin banyak ambil peran, namun buku sebagai bacaan tetap dibutuhkan. Tidak semua anak didik memanfaatkan teknologi untuk media sumber bahan bacaan. Mereka lebih suka memakai gawai untuk kegiatan media sosial atau untuk main game. Tentu saja peran sebagai bahan bacaan elektronik mereka abaikan. Bahkan mereka menganggap bahwa gawai tidak cocok jika digunakan untuk membaca buku. Meski banyak waktu tersita untuk kegiatan-kegiatan yang tak bermutu.

Melihat kenyataan tersebut maka adanya perpustakaan sekolah sebagai salah satu bentuk fasilitasi sekolah yang mewadai berbagai bahan bacaan wajib diperhatikan. Perpustakaan sangat dekat dengan anak didik sebagai sumber bahan bacaan. Seyogyanya banyak hal yang perlu diperhtikan demi mendukung melek literasi dan meningkatkan motivasi baca anak didik. Meskipun bedasarkan data pokok pendidikan tahun 2020, jumlah sekolah yang berjumlah 436.722 jumlah perpustakaan sekolah hanya 187.461 di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan untuk kegiatan literasi melalui perpustakaan sekolah belumlah memadai.

Meski banyak inovasi yang dicetuskan oleh beberapa perpustakaan, namun keberadaannya ternyata masih sangat minim dan memprihatinkan. Tak sedikit perpustakaan yang hanya sebagai gudang tempat penumpukan barang. Banyak buku-buku lusuh tak terawat membuat anak didik enggan mendekat. Adanya pun kadang seperti hidup enggan mati tak mau, pilu. Padahal perpustakaan sebagai unsur penting dalam Gerakan Literasi Sekolah, sebagai ujung tombak budaya literasi sebagai tempat bahan bacaan bagi anak didik, pendidik, dan anggota sekolah lainnya. Selain perpustakaan yang belum difungsikan secara maksimal, juga ketersediaan bahan bacaan yang sangat terbatas membuat minat baca juga lepas. Kurangnya jam istirahat yang dapat dimanfaatkan untuk membaca serta belum adanya program khusus literasi di sekolah membuat kegiatan literasi tampak jauh panggang dari api.

Gerakan Literasi sekolah tak cukup hanya gembar-gembor tanpa adanya aksi. Aksi pun sangat perlu fasilitasi. Sekolah besar pastinya akan mudah untuk merombak dan menguapayakan perpustakaan yang menarik minat bauat anak didik. Namun, untuk sekolah kecil? Meski dana terbatas, jika kita mau memulai maka aksi Gerakan Literasi Sekolah mampu terwujud meski dimulai dari langkah-langkah kecil namun pasti.

Diantaranya aksi nyata yang penting dilakaukan adalah sekolah sebaiknya membuat program khusus literasi yang dikelola oleh penanggungjawab khusus literasi. Program ini sebaiknya didukung oleh guru-guru yang inovatif. Dukungan penuh dari guru yang inovatif ini nantinya akan melahirkan kegiatan-kegiatan positif yang membangun budaya literasi meski minim fasilitasi.

Program baca buku seminggu sekali dapat diterapkan menggunakan jurnal mingguan bersinergi dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Kegiatan ini harus diapresiasi dengan baik dengan bentuk yang disesuaikan, misal pembaca buku terbanyak akan mendapatkan hadiah buku bacaan. Selain itu pemenuhan beragam judul dan beragam jenis buku juga mesti diprogramkan. Setidaknya minimal ada buku-buku baru setiap setahun sekali selain buku mata pelajaran, sehingga anak didik tertarik dengan buku. Buku sebaiknya disesuaikan dengan usia dan kegemaran anak. Selanjutnya perlu membenahi tata letak dan dekorasi perpustakaan sehingga menjadi tempat yang menyenangkan sehingga anak akan senang berkunjung.

Tapi, apakah jika perpustakaan tidak ada lalu kegiatan literasi terpatahkan? Tentu tidak. Banyak solusi sederhana yang bisa kita ambil sebagai langkah awal membudayakan minat baca-tulis anak didik sebagai pendukung gerakan literasi di sekolah. Guru mata peljaran Bahasa Indonesia bisa menggalakkan karya anak didik berkaitan dengan materi pembelajarannya, seperti menulis cerpen. Karya anak yang terbimbing dengan baik dikumpulkan dan dijilid menjadi sebuah kumpulan cerpen sederhana yang bisa digunakan sebagai koleksi bahan bacaan. Selain menambah bahan bacaan juga akan menambah semangat berkarya karena dapat dinikmati oleh sesama, pastina aka nada rasa bangga. Guru juga bisa menyumbangkan karya-karya mereka, atau koleksi mereka. Bisa juga mengunduh buku-buku atau karya-karya lain dari internet yang dijilid dengan rapi. Meski tertatih namun kita harus tetap melangkah pasti, demi melek literasi anak negeri wujudkan prestasi. Jadi, literasi tetap mampu beraksi meski minim fasilitasi. Yuk, mulai!

Download file



0 komentar:

Posting Komentar