Jumat, 03 September 2021

Catatan Andhika Mappasomba: Tentang Puisi dan Inspirasi Kebaikan

 
Sering saya diundang membicarakan sastra, terlebih puisi. Sering pula saya mengungkapkan bahwa sastra yang baik adalah karya yang bisa menggerakkan orang lain atau menginspirasi orang lain untuk melalukan sesuatu atau secara luas, pembaca menemukan kesadaran (kenyataan) dalam karya tersebut lalu pembaca membumikan pengetahuan dalam bacaannya. Misalnya untuk tidak mencuri, mencintai orang lain, dan banyak hal lainnya. Boleh jadi, inspirasi untuk lebih menebalkan keimanan dan penghambaan kepada Tuhan. Sastra yang baik adalah dia yang memiliki nilai manfaat bagi kehidupan sosial, budaya, atau pun nilai spiritual. Jika tidak, boleh jadi karya itu hanya sekadar kata penghubung dalam sebuah struktur kalimat. Penting adanya, namun tidak menjadi esensi. Karya sastra semisal puisi, ditemukan seperti cendawan musim basah. Banyak. Melimpah ruah. Namun, meminjam istilah pekerja sastra Dahri Dahlan, seperti sayur (sastra) di pasar, melimpah saat sore, akhirnya dijual murah meriah karena terancam rusak dan tak ada yang berminat lagi untuk membelinya (membaca). Tidak sedikit sastrawan yang menulis sedikit karya, tapi malah, karya itu yang membuatnya tidak punah dibicarakan. Boleh meminjam kisah dalam film Finding Forester. Nah, jika puisi hanya sibuk dengan penulisnya sendiri, dipuji dan dibahas oleh penulisnya sendiri, boleh jadi, itulah sastra-sastra yang narsis dan tampak suram dan tak memiliki masa depan yang cemerlang. Terlebih lagi, jika puisi itu adalah anjuran untuk mendalamkan tancapan nilai spiritual untuk lebih dekat kepada Tuhan, tapi penulisnya malah lebih banyak mabuk di lontang tuak atau rumah perngewekan. Dan mulut hanya penuh busa bir dari pada zikir. Itulah sastra yang sibuk dengan dirinya sendiri, menjauhi persoalan kehidupan seperti yang disebut WS Rendra tentang "sibuk bersajak tentang anggur dan rembulan, tapi ketidak adilan terjadi di sampingnya".
Kini, saya memilih untuk sedikit membangun jarak dengan puisi. Agar bisa melakukan kata-kata dan kalimat perintah yang pernah saya tuliskan di masa lalu.
Nah, apakah saya akan membaca puisi?

Tentu tak pernah berhenti. Hanya saja, saya melakukan dengan tangan dan kaki. Berjalan menemui sesama fakir dan menyeka air mata sosial yang menetes pada mata kaum dhuafa dan anak-anak yatim. Andhika Mappasomba Daeng Mammangka Pekerja Sosial, Karyawan Allah

0 komentar:

Posting Komentar